"Wes to, manut ae. Wong didoakan kok."1 Katanya sesaat sebelum meniup ubun-ubunku. Tanpa melawan, aku hanya mengiyakan meski tak jarang aku tergelak.
Kalau diingat-ingat kembali, begitu banyak hal yang ia lakukan dengan caranya sendiri untuk terus membuatku pede, untuk membuatku terus berjalan menapakkan kaki, untuk terus memastikan aku tidak lapar pun kehausan ketika ada satu rangkaian acara yang aku ikuti. Meski caranya kadang berbeda dari pada yang lain, namun maknanya tetaplah begitu dalam.
Kini, aku baru sadar. Bahwa keras kepala dan beberapa hal sederhana yang aku miliki itu titisan darinya.
Hingga aku kembali terhenyak dan tersadar akan satu hal yang selama ini aku remehkan, namun keinginannya begitu kuat dan bermakna.
***
Kurang lebih pukul sembilan lebih dua puluh lima menit, di hari minggu yang sedikit muram karena sekumpulan awan yang menutupi langit desa. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan utamanya ketika pagi hari: memasak untuk kami serumah.
Bergegas menuju bilik untuk menghaturkan makanan kepada sang suami, dengan muka lelah dan penuh harap agar makanannya hendak disantap bersama. Lalu menghampiri anaknya, "Le*, ibuk masak rujak lontong. Ayo maem bareng-bareng bene enak."2 Katanya singkat. Aku hanya mengangguk dan mengatakan iya saja, lalu datang dua puluh menit kemudian ketika ia dan suaminya hampir selesai menyantap makanan.
Kini, aku sadar bahwa hal yang sederhana itu akan aku rindukan suatu saat nanti. Salain itu, aku baru sadar dengan makna 'bene enak' yang dimaksud adalah bukan perihal rasa dari makanan itu saja, namun cerita-cerita yang diutarakan ketika makan bersama.
Pernah di suatu waktu, aku ikut makan bersama. Ketika itu aku benar-benar tak ada alasan untuk menolaknya. Sehingga bergegaslah ke belakang untuk menyantap makan bersama, namun ketika hendak memakan suapan yang kesekian kalinya, aku terhenti sejenak karena ia menceritakan perihal aktivitasnya kemarin hingga hari ini. Lalu sesekali menanyai tentang rasa masakan yang ia buat. "Piye le? opo kurang asin?"3 Katanya ketika menanyakan rasa masakannya. Bahkan pertanyaan itu masih sering kali aku dengar hingga saat ini.
Di ujung ceritanya atau di ujung suapan yang terakhir. Aku masih ingat betul bahwa ia sering kali menyisipkan kalimat yang demikian, "Iyo kan, maem bareng iki enak. Dadi semangat dan nambah akeh lek maem."4
Dulu, aku mengaggap semua itu hal yang biasa saja atau mungkin berlebihan, kini aku mengaminkan pernyataan itu dengan segala rasa suka.
Akhir-akhir ini ada hal yang mengharukan yang bisa dibanggakan, bahwa tak jarang aku yang menggantikan posisinya untuk memasak dan mengajaknya menyantap makanan bersama, terlebih ketika aku memasak makanan favoritnya: ikan bakar. Aku selalu bertanya bumbu apa yang biasa dipakai, lalu dengan senang hati aku masak untuknya dan suaminya. Disaat itu lah aku mempercayai bahwa cita rasa makanan tak berhenti pada urusan lidah saja, namun memiliki makna dan rasa yang dalam bagi pembuatnya.
Catatan:
*Le merupakan panggilan untuk anak laki-laki di daerah Banyuwangi karena diambil dari kata Thulik atau thole.
"Sudahlah, manut aja. Orang didoakan kok.1"
"Le, ibuk masak rujak lontong. Ayo makan bersama biar enak.2"
"Gimana le? apa kurang asin?3"
"Iya kan, makan bareng tuh enak. Jadi semangat dan nambah banyak kalo makan.4"