Skip to main content

Melihat Pendidikan Di Dalam Pondok Pesantren


 

Papan nama SMP Annihayah yang terletak di gerbang Yayasan Annihayah


Program kampus mengajar angkatan 3 mengantarkan saya ke sebuah kecamatan kecil di wilayah Karawang, Jawa Barat. Rawamerta, merupakan kecamatan yang terletak sembilan kilometer sebelah utara kota Karawang. Dengan kultur masyarakat islami, dengan berbagai pondok pesantren yang berdiri di dalamnya. Berbekal nekat dan pengalaman mengajar di sebuah komunitas pendidikan di Jogja, saya memberanikan diri untuk mencoba improvisasi dalam mengajar dan mencapai misi pendidikan yang diamanahkan.

Dalam pembekalan pra-penugasan, peserta program kampus mengajar angkatan 3 dibekali berbagai ilmu sekaligus diamanahi untuk membawa misi literasi, numerasi dan administrasi. Hal ini seiring dengan data lapangan yang menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang tertinggal akan hal-hal tersebut.

Apabila ditanya, mengapa saya mengikuti program ini? Padahal tidak linier dengan konsentrasi studi, serta melihat semester yang saya tempuh sudah memasuki semseter akhir. Jawaban saya hanya dua, ini kesempatan terakhir saya selama menjadi mahasiswa untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, dan rasa ingin tahu bagaimana kondisi serta pelaksanaan pendidikan formal di daerah yang dianggap membutuhkan bantuan.

Berbekal data nama sekolah dan surat tugas, saya dan rekan diterjunkan ke tempat penugasan, SMP Annihayah. Dalam program ini, saya hanya memiliki satu rekan kerja. Seorang mahasiswi yang berasal dari Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

Pagi buta, sekitar pukul 5.19, kereta Singasari berhenti di Stasiun Karawang. Dengan sebuah mobil tumpangan salah seorang kawan, kami sampai di SMP Annihayah pada sekitar pukul 8 pagi. Ketika itu, saya tidak begitu kaget jika sekolah tersebut di dalam komplek pondok pesantren, hal itu sesuai dengan apa yang saya riset ketika sebelum berangkat.

"Mas Adim sama mbak Exca ya? Selamat datang." Sambut pak Soton hangat sembari menjabat tangan kami berdua. Saya menyambut jabatan tangan itu ramah, melempar senyum tanpa sungkan, lalu berjalan mengikuti beliau menuju ruang guru.

Selama berjalan menuju ruang guru, dua buah gedung dengan dua tingkat berdiri kokoh berdampingan. Tak ada gambaran sebuah ketertinggalan dalam segi fasilitas, pikir saya mencoba menganalisa. Berukuran kurang lebih sepuluh kali tiga puluh lima meter, dengan dua buah lapangan badminton diantara kedua gedung tersebut.  Karena ukuran serta bentuk gedungnya memiliki kemiripan, gedung ini terlihat kembar.

Kondisi bangunan sekolah

Kondisi bangunan sekolah SMP Annihayah



"Gedung sebelah kiri ini gedung SMP, sedangkan yang sebelah kanan ini gedung SD." Jelas pak Soton.

Lama kami berbincang, baru ku ketahui bahwa bapak Soton ini merupakan wakil kepala bidang kurikulum. "Saya (ngajar) di sini sudah sejak berdirinya sekolah ini, sejak tahun 2017. Kebetulan saya diamanahi sebagai waka kurikulum." Jelasnya.

"Jan cocok!" Batin saya. Dia orang yang tepat untuk saya tanya perihal proses belajar mengajar di sekolah ini. 

"Pak, sampai jam 10 an, kok masih belum ada guru ataupun siswa yang datang ya?" tanya saya penasaran.

"Oh iya mas, kalo di sini kegiatan belajar mengajar dimulai pukul 1 siang sampai pukul 4 sore aja. Jadi masuknya siang." Jelas pak Soton. Ketika itu, saya hanya mengangguk-ngangguk saja, mencoba membayangkan bagaimana kondisi siswa yang belajar pada jam-jam otak tidak mau bekerja.

"Tapi kalo disini unik mas, jangan kaget kalo ada anak yang sekolah tidak pake sepatu, tapi malah pake sandal. Ada anak pake seragam yang berbeda sama temen-temennya. Ada siswa yang hanya datang pas jam pelajaran pertama saja. Itu keunikan anak-anak di sini, yang lebih uniknya lagi, mereka pas ujian juga bisa mengerjakan dengan baik." Kata pak Soton sambil tertawa.

"Mateng koe! semoga ga diospek aja sama anak SMP ini." pikir saya yang mendengar muqoddimah demikian.

Gambaran siswa yang tidak memakai seragam yang sama di hari yang sama


Kegiatan belajar mengajar

Kekhawatiran saya di hari pertama datang di SMP Annihayah itu bukan tanpa alasan. Dengan pengalaman mengajar di Kagem Jogja yang merupakan komunitas pendidikan non-formal. Sudah tiga tahun terakhir saya mengajar disana, pengalaman itu seolah membisikkan firasat bahwa banyak masalah yang terjadi dan harus diselesaikan oleh semua stakeholder di sini.

"Kenapa Ca? kok mukamu kecut bgt?" tanya saya ke mahasiswi UAD itu. 

"Hari ini aku ngajar cuma lima anak di dalam kelas." katanya setengah berbisik.

Saya mengerutkan dahi, lalu kami berdua tertawa kecut. Iya, hari ini di minggu kedua selama saya tinggal disini, teman saya mendapatkan kesempatan pertama untuk ngajar secara langsung. sedangkan saya, masih sibuk mempersiapkan komputer dan segala macamnya untuk pre test Assesment Kompetensi Minimum (AKM). 

Sejauh ini, kami berdua mengambil kesimpulan bahwa terdapat masalah di dalam kedisiplinan siswa. Kedua, kami juga menduga ada yang salah terkait mindset tentang pendidikan formal. Duga sangka itu kian mengerucut ketika kami mencoba berdialog dengan bapak ibu guru mengenai tingkah laku siswa di sekolah ini.

Dengan berbagai hasil dialog bersama bapak ibu guru dan pengamatan awal kami, itu membawa sebuah perubahan materi yang harus saya ajarkan kepada siswa. Ketika saya mendapatkan kesempatan untuk masuk kelas dan mengajar. Hal pertama yang saya tanyakan kepada mereka adalah "Siapakah diantara kalian yang memang mau dan minat untuk sekolah di sini? Silakan tunjuk jari." siswa kelas tujuh kala itu saling tatap diantara teman sebangkunya. Tak ada yang mengangkat tangan. Sekali lagi pertanyaan yang sama saya lemparkan, ada dua anak yang berani tunjuk jari. Sekali lagi saya lempar pertanyaan yang sama, dua anak tadi masih tetap bertahan. Sedang yang lainnya, tetap diam.

Setelah melontarkan pertanyaan tersebut, saya mencoba untuk melempar pertanyaan lain. "Siapa yang merasa kalo sekolah itu penting?" tak ada satu siswa pun yang mengangkat tangan. "Siapa yang merasa kalo ngaji itu penting?" semua siswa mengangkat tangan. "Siapa yang merasa kalo keduanya itu penting?" diantara mereka semua menampakkan muka ragu.

Dengan temuan itu, saya mencoba improvisasi untuk memberikan wawasan tentang bagaimana berdamai dengan keadaan, kemajuan ilmu di zaman kejayaan islam, seberapa penting pendidikan dalam kehidupan mereka kelak dan bagaimana meneladani sikap B.J Habibie dalam meraih pendidikan. Meski tidak mudah untuk menyampaikannya, tapi saya mendapatkan respon positif berupa pertanyaan, "A' kapan ngajar lagi?" ketika di akhir pelajaran.

Pada pekan yang berbeda, panitia kampus mengajar angkatan 3 menginstruksikan peserta program untuk melaksanakan pre-test AKM di sekolah penempatan masing-masing. Momen ini kami jadikan sebuah alat untuk mendukung fakta lain mengenai pemahaman konsep terhadap soal. Tentu ini mendukung rangkaian hipotesa awal yang coba kami susun.

Dua hari pelaksanaan pre-test, diikuti oleh lima puluh peserta didik. Dengan soal literasi dan numerik yang didalamnya beriskan soal logika sederhana, kami menemukan jawaban jawaban yang 'nyeleneh.' Tiga diantara jawaban nyeleneh tersebut ialah "TERSERAH PAK SYAM" "MAAF SAYA BINGUNG" "LA HAWLA WALA QUWWATA ILLA BILLAH" Uniknya, dari lima puluh siswa yang mengikuti pre-test AKM, hanya sekitar delapan siswa saja yang menjawab sesuai konteks pertanyaannya.

Selama saya mengikuti program ini, saya berkesempatan juga untuk menjaga Penilaian Tengah Semester (PTS), atau yang biasa disebut UTS di zaman saya SMP, dan Penilaian Akhir Semester (PAT), atau yang biasa disebut UAS ketika saya SMP. 

Dalam menjaga ujian ini, juga terdapat pengalaman yang menarik. Masing-masing siswa saya bagikan soal, ketika itu mata pelajaran PPKN. Tertulis pada lembar soal bahwa estimasi waktu pengerjaan selama 60 menit. Setelah membagikan soal, mengisi daftar hadir siswa, lalu memberikan kepada siswa agar mereka membubuhkan tanda-tangan. Tak lama kemudian, sudah ada tiga orang siswa yang mengumpulkan lembar jawaban. Setelah melihat jam tangan saya, mereka hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja untuk menyelesaikan semua soal. Sungguh ini hal yang membuat saya terheran-heran.

Siswi sedang mengerjakan pre-test AKM

Siswa sedang mengerjakan Pre-test AKM

Siswa sedang mengerjakan soal PTS



Dialog dengan siswa

Di titik ini, saya sudah sangat penasaran mengenai perilaku siswa. Dengan pendekatan secara personal, saya coba untuk melakukan dialog dengan satu dua orang siswa dalam sekali waktu, dan ini saya lakukan beberapa kali hingga saya telah mewawancarai delapan siswa/i. Saya mencoba menanyakan mengenai apa alasan mereka datang terlambat, mengapa mereka tidak ada di dalam kelas ketika jam belajar, mengapa mereka terkesan asal-asalan dalam mengerjakan soal, apa harapan mereka ke depannya dan lain sebagainya.

Saya menemukan berbagai alasan menarik untuk diselesaikan. 1. Kegiatan pondok yang sangat padat membuat mereka kelelahan dan kehilangan konsentrasi dalam membagi waktu untuk ngaji dan belajar. 2. Kelas yang panas membuat mereka tidak nyaman untuk berlama-lama di dalam kelas. 3. Merasa tidak bisa dalam mengerjakan soal. Itu jawaban yang paling sering saya dapatkan dari mereka.

Kalo saya tanya perihal harapan, mereka dengan semangat menjawab "Bisa dapet tempat yang lebih nyaman. Maksudnya gak panas gitu a'." lalu, "Kalo bisa nih a', tapi saya mah ga begitu berharap ya. Tapi kalo bisa, waktu di pondok sama di sekolah bisa terbagi rata biar bisa belajar dengan enak dan ga bingung mau belajar yang mana."

Jawaban mereka tentu menarik bagi saya, setidaknya saya mulai memegang benang merah akan apa yang terjadi disini. Saya mengetahui bagaimana padatnya jadwal kegiatan mereka selama di pondok. Karena saya juga tinggal di dalam pondok selama dua pekan pertama di sana. Mereka bangun jam 3.30 pagi, kegiatan diakhiri sekitar pukul 22.00. Tapi memang begitulah kegiatan rata-rata di pondok pesantren yang saya tau.


Dialog dengan guru

Dialog dengan bapak ibu guru saya lakukan ketika kami istrirahat di ruang guru. Ini kami lakukan tentu saja untuk konfirmasi dan menggali informasi sebanyak mungkin mengenai apa apa saja yang bisa kami bantu untuk menyelesaikan. 

Dari mereka, saya menemukan hal-hal yang seperti saya jelaskan di atas. Selain itu, saya juga menemukan beberapa hal yang menarik. Perihal berjalannya pendidikan yang dirasa sulit berjalan dengan nyaman karena berbagai jadwal yayasan yang sering terbilang dadakan, itu juga saya saksikan dan rasakan ketika disana.

Kenyamanan siswa dalam pondok juga disebut menjadi sebuah masalah tersendiri karena terdapat dugaan terlalu banyak orang dalam satu kamar. Ini tidak dapat saya verifikasi karena saya tidak memiliki akses, pun bukan ranah saya untuk bisa mencari tau tentang hal itu.

Perihal jumlah bangunan yang terbatas menjadi biang masalah mengapa kondisi kelas panas. Karena alasan ruang kelas yang digunakan secara bergantian dengan MTS Annihayah, pihak SMP Annihayah ragu untuk memasang AC. Selama ini ruang kelas sudah terdapat kipas angin tiap ruangan. Tapi tetap saja panas karena desain bangunannya lebih cocok untuk berpendingin ruangan, bukan kipas angin. Selain itu, kondisi ini juga membuat jam belajar dimulai pukul 13.00.

Masih banyak hal yang saya dapatkan dari dialog dengan bapak ibu guru yang tidak dapat saya ceritakan di sini. Akan tetapi, itu membahas tentang nasib mereka sebagai guru dan lain sebagainya yang tentu tidak relevan untuk saya ceritakan disini.


Program yang dilakukan

Mengetahui permasalahan yang kami hadapi, saat itu saya berpikir akan satu hal. Sekolah ini membutuhkan solusi untuk jangka panjang. Akan tetapi, saya tau betul bahwa pendidikan merupakan hal yang harus ditempuh dalam kurun waktu yang tidak singkat. Itu artinya, kami harus menawarkan program yang memiliki dampak dalam jangka panjang dan bisa diteruskan oleh bapak ibu guru ketika program kampus mengajar angkatan 3 sudah selesai.

Saat itu yang ada di dalam pikiran saya pertama kali adalah memberikan inspirasi mengenai betapa pentingnya pendidikan untuk masa depan siswa, dengan harapan tumbuhnya minat belajar mereka. Minat belajar tumbuh, perlahan-lahan akan menimbulkan kesadaran untuk menuntut ilmu. Tentu ini harapan secara teoritis semata, untuk menciptakan keadaan tersebut pasti juga membutuhkan dukungan dari pihak sekolah.

Jika diantara kalian ada yang bertanya bagaimana dengan amanah yang diberikan oleh panitia untuk memberikan pelajaran perihal literasi, numerasi dan administrasi? Tentu terdapat alasan yang lebih mendasar dari pada itu, bagaimana bisa berjalan program tersebut apabila minat akan pendidikan saja tidak ada? tentu akan sangat sulit.

Selain memberikan inspirasi serta motivasi akan pentingnya pendidiakan, kami mencoba untuk memberikan ruang untuk anak-anak menceritakan apa saja yang menjadi kendala atau pun hal yang membuat mereka tidak berkembang dalam belajar. Saya sangat yakin bahwa tugas siswa tidak hanya belajar, melainkan mereka juga butuh bercerita dan didengar untuk dibangun kepercayaan dirinya, dibangun motivasinya, dan diarahkan keinginannya.

Setelah mendengar keluhan siswa, kami mencoba membuat program pelatihan membuat puisi, pelatihan membuat mading, pengenalan pada tokoh penyair di Indonesia dan pentingnya mengeluarkan apa yang ada di dalam hatinya agar tidak menjadi sebuah gangguan mental pada masa yang akan datang. Program ini diciptakan berdasar pada keluhan yang diceritakan oleh siswa terhadap aspek percintaan atau rasa rindu terhadap keluarga. Awalnya memang sedikit menggelikan, tapi saya sadar bahwa itu memang fasenya mereka.

Dari hasil dialog dengan guru dan juga siswa, kami mengetahui bahwa siswa begitu senang untuk nonton film bersama, kesempatan itu saya tangkap untuk digunakan menginspirasi siswa dalam meraih pendidikan setinggi mungkin. Film Rudy Habibie menjadi sebuah alat bagi saya untuk memasuki dunia mereka, dengan kalimat andalan Rudy: fakta, masalah dan solusi. Saya berhasil menarik simpati anak-anak untuk memahami bahwa pendidikan itu penting dan harus diraih setinggi mungkin.

Selain itu, saya juga menyadari bahwa kedatangan saya bersama dengan rekan menjadi sebuah magnet perhatian bagi pihak yayasan maupun sekolah. Oleh karena itu, saya berusaha membuat sebuah laporan khusus yang berisikan evaluasi tentang apa saja yang menjadi kelemahan sekolah maupun yayasan Annihayah. Dengan ditulisnya laporan ini, harapan saya bisa menjadi sebuah pelecut untuk sekolah maupun yayasan agar mereka menciptakan sistem ataupun aturan yang baru yang dapat mendukung maupun mendengarkan keluhan siswa, serta dapat mendukung pendidikan agar dapat berjalan lebih baik dari pada sebelumnya.

Terlepas dari segala dinamika yang tersedia di dalam SMP Annihayah, saya merasa bahagia bisa bertemu dengan bapak ibu guru maupun siswa-siswinya. Mereka menerima saya dengan sangat hangat dan terbuka. Tak jarang diantara kami berdiskusi mengenai banyak hal. Disaat itu juga, saya terpikir 'semoga anak-anak nanti bisa diskusi semacam ini juga dengan bapak ibu gurunya.' Dalam akhir tulisan ini juga saya ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya, apabila diantara pembaca terdapat siswa SMP Annihayah yang pernah saya ajar, sebuah pesan untuk kalian: tumbuh bersama pendidikan, serap ilmu untuk bekal, dan terus merunduk untuk menjadi manusia bestari.









 




Popular posts from this blog

Rayuan Perempuan Gila VS Eksistensi Sebagai Manusia

  Sampul lagu Rayuan Perempuan Gila Akhir-akhir ini lagu Nadin Amizah hampir selalu mengiringi setiap vidio yang ada di Tiktok maupun Instagram. Pertama kali aku mendengar lagu itu, ada warna baru dalam karyanya. Alunan yang enak didengar membuat kepo akan banyak hal tentang lagunya. Setelah aku search lagu tersebut menggunakan kata kunci yang berasal dari lirik yang terngiang: menurutmu, apa benar saat ini kau masih mencintaiku? Mesin pencarian google menampilkan judul yang unik dan nyentrik, Rayuan Perempuan Gila. Tak perlu pikir lama, aku mendengarkan lagunya secara utuh. Pertama kali aku mendengar, aku masih fokus pada alunan musiknya: tenang, retro, berkarakter, dan khas. Sebuah karya yang perlu diapresiasi. Namun, tulisan ini tidak mengupas secara rinci makna dari lirik lagu Nadin tersebut. Hanya saja aku menilai secara subjektif ketika mendengarkan lebih seksama pada beberapa bagian liriknya yang mengandung pertanyaan dan pernyataan yang pernah aku rasakan. Oleh sebab...

Cantik Itu Luka

Texas Conference of seventhday adventists (Pinterest) Cantik. Sebuah kata yang begitu subjektif untuk dinilai, pun menjadi sangat menggelora untuk didengar. Banyak wanita yang berlomba-lomba untuk merias, juga mempercantik diri. Memang tak ada yang salah dari kegiatan itu. Sebagian orang lagi berkata bahwa kegiatan itu tidak untuk mempercantik, karena katanya lagi kecantikan itu relatif dan tidak bisa disamakan. Akan tetapi perlombaan dilakukan untuk medapatkan kata 'paling' mendekati kata cantik itu sendiri. Dalam tulisan ini aku mencoba mengurai sebuah duduk masalah. Duduk masalahnya bukan berada pada hal ini, kawan. Aku menuliskan ini karena mendengar suara-suara sumbang dari prespektif mereka yang dibilang cantik oleh khalayak, akan tetapi menderita oleh karenanya juga. Zaman kita ini merupakan zaman dimana orang-orang saling berlomba untuk mengejar kata viral, mengejar ketenaran, dan memilih melakukan apapun untuk ketenaran yang nyalanya tak begitu lama. Salah satu hal yan...