Skip to main content

Cantik Itu Luka

Texas Conference of seventhday adventists
(Pinterest)


Cantik. Sebuah kata yang begitu subjektif untuk dinilai, pun menjadi sangat menggelora untuk didengar. Banyak wanita yang berlomba-lomba untuk merias, juga mempercantik diri. Memang tak ada yang salah dari kegiatan itu. Sebagian orang lagi berkata bahwa kegiatan itu tidak untuk mempercantik, karena katanya lagi kecantikan itu relatif dan tidak bisa disamakan. Akan tetapi perlombaan dilakukan untuk medapatkan kata 'paling' mendekati kata cantik itu sendiri.

Dalam tulisan ini aku mencoba mengurai sebuah duduk masalah. Duduk masalahnya bukan berada pada hal ini, kawan. Aku menuliskan ini karena mendengar suara-suara sumbang dari prespektif mereka yang dibilang cantik oleh khalayak, akan tetapi menderita oleh karenanya juga.

Zaman kita ini merupakan zaman dimana orang-orang saling berlomba untuk mengejar kata viral, mengejar ketenaran, dan memilih melakukan apapun untuk ketenaran yang nyalanya tak begitu lama. Salah satu hal yang digunakan untuk mendompleng kepopuleran saat ini adalah kecantikan. Bahkan ada orang orang yg merasa tidak percaya diri dengan apa yang dipunya karena merasa tidak cantik.

Kata cantik itu membawa malapetaka bagi mereka yang dianugerahi paras menawan oleh tuhan. Mengapa aku mengatakan demikian? karena beberapa dari kolega ku malah menderita sebab paras cantiknya.

Bisa jadi diantara kalian beranggapan kenapa ia tidak memanfaatkan kecantikannya untuk ketenaran atau untuk mempermudah urusannya. Tapi harus aku katakan bahwa tak semua orang yang berparas jelita memiliki niatan untuk memanfaatkan itu semua, banyak diantara mereka yang ingin hidup selayaknya manusia biasa yang tak ingin menjadi bahan perbincangan atau tatapan mata yang terus mengikuti tatkala ia berjalan.

Kawan ku pun menuturkan sebuah kisah pahit karena memiliki wajah yang dibilang jelita oleh sebagian orang, puncaknya terjadi ketika sebuah akun instagram base mahasiswa di Yogyakarta dengan kata kunci 'Cantik ganteng' itu merepost foto dari instagramnya tanpa permisi. Tentu ini bisa dibilang sebuah perbuatan bermedia sosial yang kurang bertanggungjawab, sehingga dari situ lah cerita pahitnya dimulai.

"Aku tak pernah meminta untuk memilki wajah seperti ini, ini merupakan anugerah dari tuhan. Namun mengapa aku yang harus menerima dampak atas paras ku ini hingga aku dilihat dengan tatapan tak nyaman dari atas hingga bawah, digunjingkan karena dinilai aku memiliki paras yang dibuat-buat, hingga aku dihujat di sosial media karena katanya aku sok nampang." tuturnya gemetar ketika kembali mengingat rentetan peristiwa yang pernah dialaminya.

Aku bertanya-tanya ketika mendengar pernyataan itu, adakah orang-orang yang sebegitunya dengan paras orang lain? mengapa ia memperlakukan orang dengan paras cantik demikian? Iri? Dengki? Atau gak suka aja? Sungguh aneh. Lantas aku kembali menanyakan, "Mereka menghujatmu seperti apa?"

Ia menarik napas panjang, mencoba menceritakan perlahan-lahan. "Bermacam-macam. Mulai umpatan kebun binatang yang tak pantas untuk diucapkan, hingga kalimat-kalimat yang bernada merendahkan."

Aku menghentikan pertanyaan, nampak diujung kelopak matanya sudah mulai berembun. Suasana menjadi hening tak enak, ia menunduk menahan tangis, sedang tangannya sibuk melipat-lipat kain bajunya sendiri hingga lusuh.

"Aku sebenernya sangat tersiksa oleh keadaan ini. Bahkan kalo kamu tau, aku sampe cari psikolog untuk mengatasi semua ini, aku tak sanggup melewatinya sendiri. Ucapan-ucapan orang yang tak ku kenal itu begitu jahat hingga aku takut dan murung. Bahkan, oleh karena ini aku sempat berpikiran mengapa tuhan memberiku paras seperti ini." tambahnya.

Aku terperangah mendengarnya. "Lalu, orang tuamu tau akan semua ini?" tanyaku memastikan.

Ia mengangguk, "Bahkan mereka kebingungan ketika aku menelpon sambil menangis tersedu. Aku tinggal disini sendiri. Jauh dari mereka. Pasti kamu bisa membayangkan bagaimana paniknya mereka ketika mendengar putrinya menangis." terangnya dengan mata yang mulai menurunkan air mata.

Ruangan itu kembali sesak, hening dan tak enak. Setelah semua suasana itu berlalu, ku coba memastikan kembali apakah ada hal lain yang membuatnya sebegitu menyedihkannya? Ada, katanya. Namun aku tak tuliskan karena memang tidak ada hubungannya dengan semua ini. Tapi ia menegaskan bahwa peristiwa ini memukul psikisnya.

"Jika aku bisa memilih, aku akan pilih hidup dengan paras biasa saja. Karena semua hal yang dikata orang sebuah impian ini malah membawaku pada sebuah kubang dalam. Untung saja aku kuat bertahan hingga saat ini, dan tak pernah terpikirkan untuk mengakhiri hidup karena semua ini." tutupnya.

Kisah pilu ini tak berhenti sampai disini. Aku pernah punya kenalan yang juga memiliki paras cantik. Hal itu dibuktikan dengan pengikut instagramnya yang mencapai belasan ribu orang. Aku pernah bertanya perihal cara untuk mendapatkan pengikut sebegitu banyaknya.

"Semua ini tidak sengaja." katanya singkat ketika aku tanya asal muasal jumlah pengikutnya.

Perlu kawan semua ketahui bahwa temanku yang satu ini memiliki kesempatan untuk memanfaatkan cantik jelitanya guna mempromosikan barang-barang tertentu agar banyak dibeli oleh masyarakat, atau istilah kerennya saat ini endorse. Dari sana lah ia mendapatkan keuntungan.

Namun kisah ini bukan tentang keuntungan materil yang hendak aku ceritakan kepada kalian. Melainkan cerita pahit lain, dengan sudut pandang lain. Dimana kebanyakan orang hampir selalu beranggapan bahwa memiliki paras cantik jelita adalah sebuah keuntungan yang bisa dibanggakan tanpa risiko. Namun temanku yang ini bersaksi bahwa semuanya tidak demikian.

"Macem-macem sih, paling kalo ketemu secara langsung ya digodain kayak dipanggil atau disuitin. Kalo di instagram ya digodain gitu." Ceritanya sambil mencoba mengingat.

"Sorry, ga ada yang sampai melecehkan kan?" tanyaku penasaran.

"Emm, ada. Dulu. Tapi orangnya langsung aku block. Udah keterlaluan." katanya dengan membawakan sebuah raut muka kesal.

Aku mengerutkan dahi, melempar sebuah mimik bingung.

"Iya, itu sudah keterlaluan. Masa iya aku dikirimin foto, maaf. Itunya. Padahal di instagramku ga pernah sekali pun aku pake baju seksi. Semua tertutup dan semua tidak ada yang membentuk kemolekan tubuh." jelasnya.

Sampai di titik ini aku semakin tidak paham dengan pola-pola orang bermedia sosial. Apa motif mereka mengirimkan gambar tak senonoh kepada orang yang tiada niatan untuk mengundang hawa nafsunya?

Lagi lagi, di titik ini aku sudah mulai menarik kesimpulan bahwa tiada kecantikan yang selalu dibilang mendapatkan keuntungan.

"Ada orang-orang yang ngirim pesan kebencian atau hujatan gitu ngga?" tanyaku lagi.

"Ada. Yang paling sering aku dapat itu, kata. Sorry: anjing, murahan, sok cantik. Dulu pas awal aku baca itu, kaget. Gemetar, pasti. Tapi makin ke sini, makin terbiasa. Paling aku ga buka dm (direct massage)." pungkasnya.

"Kalau boleh tau, kamu dulu bisa terkenal seperti sekarang ini gimana caranya?" tanyaku penasaran.

"Gak sengaja, dulu pas aku awal jadi mahasiswa baru. Ada kakak tingkat yang bikin vidio prank gitu, karena pas itu lagi jamannya kan. Nah pas di upload, yang nonton fokusnya pada ngelihat ke aku. Ya semenjak itu, dan gatau gimana caranya, mereka tau instagramku. Aku bisa punya banyak pengikut di instagram ya gara-gara itu." katanya.

"Untuk sekarang, aku sedang ada pada titik yang enggan untuk mempublikasikan kegiatanku. Sudah terlalu banyak mata yang mengintaiku. Sudah terlalu lelah untuk semua itu. Hingga aku memutuskan untuk mengarsipkan semua potoku yang ada di instagram tanpa memperdulikan jumlah pengikut yang ada saat ini. Ketenangan batinku harus aku utamakan." tutupnya.

Lantas, apakah kalian masih beranggapan bahwa menjadi cantik itu tujuan utama? Ku pikir kita harus belajar bahwa cantik yang sesungguhnya berada pada diri kalian masing-masing. Cantik dalam berperilaku, bertutur kata, dan juga cantik dalam berpikir. Stop rasa ingin menjadi seperti orang lain, karena perbedaan antara kamu dan mereka adalah sebuah daya tarikmu sendiri. Untuk mendapatkan perhatian dari orang lain, tidak perlu menjadi cantik dari segi paras.

Sudah saatnya kamu mencintai semua elemen yang ada pada dirimu. Karena kamu berharga dan tidak untuk dibandingkan dengan yang lain. Kamu memiliki keunikanmu sendiri.

Popular posts from this blog

Rayuan Perempuan Gila VS Eksistensi Sebagai Manusia

  Sampul lagu Rayuan Perempuan Gila Akhir-akhir ini lagu Nadin Amizah hampir selalu mengiringi setiap vidio yang ada di Tiktok maupun Instagram. Pertama kali aku mendengar lagu itu, ada warna baru dalam karyanya. Alunan yang enak didengar membuat kepo akan banyak hal tentang lagunya. Setelah aku search lagu tersebut menggunakan kata kunci yang berasal dari lirik yang terngiang: menurutmu, apa benar saat ini kau masih mencintaiku? Mesin pencarian google menampilkan judul yang unik dan nyentrik, Rayuan Perempuan Gila. Tak perlu pikir lama, aku mendengarkan lagunya secara utuh. Pertama kali aku mendengar, aku masih fokus pada alunan musiknya: tenang, retro, berkarakter, dan khas. Sebuah karya yang perlu diapresiasi. Namun, tulisan ini tidak mengupas secara rinci makna dari lirik lagu Nadin tersebut. Hanya saja aku menilai secara subjektif ketika mendengarkan lebih seksama pada beberapa bagian liriknya yang mengandung pertanyaan dan pernyataan yang pernah aku rasakan. Oleh sebab...

Melihat Pendidikan Di Dalam Pondok Pesantren

  Papan nama SMP Annihayah yang terletak di gerbang Yayasan Annihayah Program kampus mengajar angkatan 3 mengantarkan saya ke sebuah kecamatan kecil di wilayah Karawang, Jawa Barat. Rawamerta, merupakan kecamatan yang terletak sembilan kilometer sebelah utara kota Karawang. Dengan kultur masyarakat islami, dengan berbagai pondok pesantren yang berdiri di dalamnya. Berbekal nekat dan pengalaman mengajar di sebuah komunitas pendidikan di Jogja, saya memberanikan diri untuk mencoba improvisasi dalam mengajar dan mencapai misi pendidikan yang diamanahkan. Dalam pembekalan pra-penugasan, peserta program kampus mengajar angkatan 3 dibekali berbagai ilmu sekaligus diamanahi untuk membawa misi literasi, numerasi dan administrasi. Hal ini seiring dengan data lapangan yang menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang tertinggal akan hal-hal tersebut. Apabila ditanya, mengapa saya mengikuti program ini? Padahal tidak linier dengan konsentrasi studi, serta melihat semester yang saya tempuh suda...